Ting….ting…ting…ting…..ting….ting….
Suara ini selalu akrab saya dengar ketika hari Sabtu malam Minggu dimana jarum jam dinding di rumah saya sudah menunjukkan pukul 23.00. Ini bukanlah suara penjual es potong seperti di perkotaan atau bel masuk sekolah. Namun ini adalah bunyi bel yang senantiasa dipukul oleh warga para petugas ronda. Jika biasanya kebanyakan menggunakan kentongan untuk ronda, lain halnya dengan warga di lingkungan RT saya, yaitu “bel/lonceng” layaknya tukang es potong atau bel masuk sekolah.. salah satu keunikan tersendiri
Ronda menurut bahasa awam berarti berjalan keliling suatu wilayah untuk menjaga keamanan. Istilah ronda sempat dikelirukan dengan istilah Siskamling, yang merupakan akronim dari Sistem Keamanan Lingkungan, sementara ronda hanyalah sebagian dari Siskamling.
Mungkin di kampung-kampung pedesaan, masih sering kita jumpai beberapa orang melakukan ronda malam. Mereka berkeliling kampung sambil membawa kentongan untuk memastikan bahwa di kampung tidak ada maling, atau barangkali hanya mengingatkan warga yang belum mengunci pintu. Pesan yang paling penting yang disampaikan para petugas ronda adalah agar masyarakat senantiasa waspada terhadap berbagai hal yang tidak diinginkan.
Namun, saat ini kegiatan ini sudah menurun, sudah jarang ada perumahan dan komplek yang melakukan siskamling, mungkin kegiatan ini masih sering dilakukan di daerah pedesaan saja. Kebanyakan warga yang tinggal di perkotaan lebih percaya kepada portal yang ada di lingkungan mereka, padahal portal itu sendiri kurang menjamin keamanan lingkungannya. Mungkin di beberapa wilayah apalagi perkotaan, kegiatan ini sudah hampir punah, digantikan oleh satpam atau hansip.
Tapi, saya sangat bersyukur kegiatan ini masih ada di wilayah saya. Selain sebagai sistem dalam menjaga keamanan lingkungan, ronda juga dapat mengakrabkan kami sesama warga dan meningkatkan solidaritas. Yang pulang ke rumah setahun sekali eh maksudnya jarang beredar di lingkungan, misalnya karena kesibukan kerja masing-masing bisa lebih mengenal warga satu sama lain. Setidaknya saya jadi mengetahui siapa yang punya peliharaan burung, rumah siapa yang di halamannya ada alphard diparkir, dsb.
Pada hari Senin sampai Jumat urusan keamanan dipercayakan kepada Hansip atau petugas keamanan yang secara swadaya kami biayai dengan iuran bulanan. Hanya khusus hari Sabtu malam Minggu kami selaku warga dengan sukarela dengan jadwal bergiliran yang telah disepakati, kami menggantikan tugas mereka agar mereka bisa ikut merasakan liburan seperti pekerja lain pada umumnya. Dengan jumlah warga kurang lebih 50 orang di RT saya dengan jadwal yang ada sebanyak 4 grup dimana 1 grup terdiri dari 10-12 orang, maka setiap warga akan merasakan tugas ronda 1 kali dalam sebulan dengan dikoordinir oleh 1 orang koordinator (saya alhamdulillah dipercaya sebagai salah satu koordinator grup).
Cerita berbagai macam profesi dari kami mewarnai perbincangan selama ronda. Dari mulai kuli pabrik, pegawai negeri, pekerja serabutan, supir taksi, satpam, pedagang pasar, tukang pecel ayam, tukang listrik dll. Masing – masing mempunyai cerita yang menarik dari kesehariannya. Kegiatan lain yang tidak kalah seru adalah nonton bareng sepabbola di TV, main gaple, main catur, main karambol atau sekedar numpang tidur.
Sekelumit Sejarah Ronda
Kata “ronda” ini menurut Vicente L. Rafael dan Rudolf Mrazek dalamFigures of Criminality in Indonesia, the Philippines, and Colonial Vietnam, merupakan institusi prakolonial. Kentongan yang merupakan perangkat utama pada saat ronda. Menurutnya, kentongan digunakan untuk mengumpulkan masyarakat dan memberikan tanda bahaya sudah berabad-abad yang lalu. Ini adalah bukti yang menguatkan pendapat mereka bahwa ronda adalah institusi yang ada sejak jaman prakolonial.
Namun pada jaman kolonial pos-pos jaga berfungsi sebagai perpanjangan dari menara-menara dari kekuasaan kolonial untuk mengekang gerak pribumi. Fungsinya lebih mirip pos pengawasan terhadap pribumi yang melewati daerah tertentu. Hal serupa juga terjadi ketika Jepang berkuasa di Indonesia.
Pada saat Jepang masih berkuasa di bumi pertiwi ini, ronda menjadi salah satu tugas pokok anggota keibodan, organisasi semi militer yang bertugas membantu polisi seperti hansip. Tugas mereka selain menjamin keamanan, mereka harus menjaga dan mencari penyamun, pencuri, penjahat, serta melakukan jaga malam dan ronda kampung. Namun di beberapa wilayah tertentu, tidak saja hanya menggunakan keibodan, namun juga melibatkan masyarakat sipil. Sistem pengamanan seperti ini terus dijalankan sampai dengan Jepang hengkang dari Indonesia setelah kalah dari Sekutu.
Pada masa pendudukan Jepang, Pos Ronda digunakan oleh keibodan untuk mengawasi warga pribumi yang berbuat makar atau memberontak Jepang. Paska kemerdekaan, pos-pos ronda milik Jepang ini digunakan oleh orang-orang pribumi sebagai pos penjagaan dan mengawasi orang-orang Jepang dan lainnya yang dirasa membahayakan lingkungan sekitar.
Sistem keamanan lingkungan (siskamling) baru muncul 1981. Sistem keamanan ini muncul dilatarbelakangi oleh kondisi politik dalam negeri yang lagi kacau, mulai dari gejolak politik hingga kriminalitas yang semakin meningkat. Adalah Awaloedin Djamil seorang Kepala Polisi pada saat itu menggagas bentuk pengamanan swakarsa. Pengamanan ini dilakukan secara swadaya oleh masyarakat desa. Sedangkan dalam sektor industry juga harus ada pengamanan dalam bentuk satpam.
Siskamling yang dilakukan secara swakarsa ini menempatkan warga sipil sebagai pelaksana. Mereka melakukan ronda atau jaga secara bergiliran antara warga satu dengan yang lainnya. Biasanya mereka membuat jadwal yang dipatuhi secara bersama-sama. Semenjak itulah dibentu poskamling (Pos Keamanan Lingkungan) seperti yang kita tahu sekarang ini. Dalam bahasa Jawa istilah Poskamling ini lazim disebut dengan “gerdon” yang berarti tempat untuk berjaga malam.
Menurut Antropolog Joshua Barker dalam “State of Fear: Controlling The Criminal Contagion In Suharto’s New Order”, yang dimuat dalam jurnal Indonesia No 66, Oktober 1998, siskamling pada jaman orde baru tidak lain hanya menjadi perpanjangan tangan pengawasan polisi ke dalam lingkup lokal. Kondisi siskamling tak ayal seperti pada jaman Jepang. Pada jaman orde baru Poskamling digunakan untuk mengawasi para pemuda atau kelompok tertentu yang akan melakukan makar terhadap pemerintah.
Apa yang diamati oleh Josua Barker ini setidaknya memiliki kemiripan dengan apa yang ditemukan oleh Abidin Kusno dalam bukunya yang berjudul Guardian of Memories: Gardu in Urban Java. menurutnya Gardu mengalami perubahan fungsi lagi di era presiden Soeharto berkuasa. Gardu lagi-lagi menjadi perpanjangan tangan kekuasaan. Keberadaan gardu mengukuhkan bentuk militerisme dalam kemasan yang lebih sederhana dan terasa merakyat. Soeharto menerapkan model pertahanan semesta yang berfungsi sebagai pendukung legitimasi kekuasaaannya dengan dalih Sistem Keamanan Lingkungan. Dengan demikian, berbagai kegiatan yang sekiranya membahayakan kekuasaan orde baru bisa terekam dengan jelas dan bisa segera ditindaklanjuti.
Apa yang bisa kita petik dari ronda ini sebenarnya? Yang paling penting dari ronda adalah wilayahkita menjadi aman dan tentram. Ronda yang dilakukan pada malam hari ini menjadi sarana yang cukup efektif untuk menjaga hubungan antarwarga, meningkatkan solidaritas, dan tentu saja menjaga keamanan lingkungan.
Pos ronda yang ada di sekeliling kita mungkin kini hanya tinggal tempatnya saja yang mungkin juga tidak terawat. Sesekali orang berkumpul hanya untuk bermain gaple, remi atau sejenisnya. Sementara pada saat kampanye legislatif sampai pilihan lurah pos ronda berubah bentuk menjadi posko partai ataupun posko pasangan calon. Fungsinya sudah bergeser jauh dari yang sebelumnya. Namun itulah jaman, senantiasa bergerak terus.
Sistem keamanan dengan model swakarsa sekarang ini sudah mulai tidak laku lagi. Masyarakat tidak memiliki waktu untuk berjaga secara bergiliran seperti dahulu. Karena mungkin terbentur oleh kebutuhan pekerjaan yang tidak pernah mengenal waktu. Orang lebih suka membayar hansip ataupun satpam jika dibandingkan harus ikut menjaga kampungnya sendiri. Padahal tindak kriminal, pencurian dan kejahatan lainnya tidak semakin berkurang. Dengan demikian hansip dan satpam sebenarnya memiliki kontribusi yang besar untuk keamanan dan kenyamanan kita.
Terimakasih Bapak hansip dan satpam yang telah mengabdikan diri untuk keamanan dan kenyamanan saya.
Terima kasih juga kepada para warga atas kesediaanya menjaga budaya ini agar tidak punah dimakan zaman…